[OCEHAN] Masa Kecilku Bermain di Sungai Bukan di Sosmed
By : Muhfatiah Muhdar
Pernah kah kalian berpikir untuk mengulang kembali masa kecil yang menyenangkan? Aku sering berpikiran seperti itu, apalagi ketika stres karena hal-hal yang dikerjakan orang dewasa terlalu melelahkan.
.
Masa kecilku di sebuah dusun di kabupaten Mamuju tak akan pernah kulupakan. Sepulang sekolah tepatnya sehabis mengaji, kau tak akan bisa menemuiku di rumah. Setengah hariku habis di lapangan, di kolong rumah temanku, di sungai, di sawah, karena dulu belum ada android yang bisa kugenggam seharian. Sebelum maghrib aku akan kembali ke rumah dengan badan yang bau matahari (kata mama) atau dengan badan yang penuh lumpur.
.
Sholat Maghrib dan Isya di Masjid adalah agenda wajib bagi kami yang sekolah di MIS Raudhatul Abidin Rarani. Kepala sekolah akan siap mengabsen di sana, dan sehabis sholat Isya kami wajib menjawab pertanyaannya seputar bacaan-bacaan sholat. Dan pagi hari di sekolah kepala sekolah akan siap menunggu di depan gerbang dan memberi hukuman mencabut rumput bagi mereka yang bolos dari masjid semalam.
.
Di sekolah aku jualan es lilin. Harganya seratus rupiah per buah. Biasanya aku membawa 32 buah. Dua buah itu bonus dari mama. Tapi biasanya aku juga menjualnya, lumayan untuk membeli nasi kuning yang di jual di kantin sekolah. Dulu harga nasi kuning yang di bungkus daun pisang hanya dua ratus rupiah. Sekarang, dua ratus rupiah bisa dapat apa?
.
Sayangnya anak-anak zaman sekarang tidak bisa merasakan betapa indahnya masa kecil kita dahulu. Mereka dicekik oleh zaman yang semakin hari semakin maju. Game online, sosial media, lagu-lagu tentang cinta, sinetron, banyak memberi pengaruh negatif bagi mereka. Anak SD sudah mulai mengenal 'pacaran' bahkan ada yang sampai pada tahap 'ayah bunda'. Ada yang sampai mengunggah foto bergandengan tangan, tak jarang foto berciuman pun mereka pamer, padahal seragam yang mereka gunakan masih putih merah. Sungguh miris. Dan kita hanya cuek saja dengan fenomena ini. Hanya berani muncul di kolom komentar tanpa terjun langsung bersosialisasi kepada mereka bahwa di usia muda seharusnya mereka bercita-cita bukan bercinta-cinta.
.
Permainan tradisional pun hampir punah. Bahkan, di dusunku sendiri sudah jarang terlihat anak laki-laki bermain gasing, kelereng dan ketapel. Mereka lebih senang di tempat rental PS. Anak perempuan sudah jarang terlihat bermain bongkar pasang, rumah-rumah, domikado dan dende'. Mereka lebih senang memoles diri, memposting foto selfie, dan berganti-ganti foto profil. Mungkin, anak-anak kita nanti akan lebih parah dari anak-anak sekarang.
.
Perkembangan zaman memang tak bisa kita hindari. Sebaiknya sosial media digunakan lebih bijak. Para orangtua harusnya memberi batas toleransi penggunaan sosmed kepada anak-anaknya. Agar tidak terjadi 'ayah bunda' di kalangan anak SD. Kalau sudah seperti itu siapa yang akan disalahkan?
.
Samata,
10 November 2017
Pernah kah kalian berpikir untuk mengulang kembali masa kecil yang menyenangkan? Aku sering berpikiran seperti itu, apalagi ketika stres karena hal-hal yang dikerjakan orang dewasa terlalu melelahkan.
.
Masa kecilku di sebuah dusun di kabupaten Mamuju tak akan pernah kulupakan. Sepulang sekolah tepatnya sehabis mengaji, kau tak akan bisa menemuiku di rumah. Setengah hariku habis di lapangan, di kolong rumah temanku, di sungai, di sawah, karena dulu belum ada android yang bisa kugenggam seharian. Sebelum maghrib aku akan kembali ke rumah dengan badan yang bau matahari (kata mama) atau dengan badan yang penuh lumpur.
.
Sholat Maghrib dan Isya di Masjid adalah agenda wajib bagi kami yang sekolah di MIS Raudhatul Abidin Rarani. Kepala sekolah akan siap mengabsen di sana, dan sehabis sholat Isya kami wajib menjawab pertanyaannya seputar bacaan-bacaan sholat. Dan pagi hari di sekolah kepala sekolah akan siap menunggu di depan gerbang dan memberi hukuman mencabut rumput bagi mereka yang bolos dari masjid semalam.
.
Di sekolah aku jualan es lilin. Harganya seratus rupiah per buah. Biasanya aku membawa 32 buah. Dua buah itu bonus dari mama. Tapi biasanya aku juga menjualnya, lumayan untuk membeli nasi kuning yang di jual di kantin sekolah. Dulu harga nasi kuning yang di bungkus daun pisang hanya dua ratus rupiah. Sekarang, dua ratus rupiah bisa dapat apa?
.
Sayangnya anak-anak zaman sekarang tidak bisa merasakan betapa indahnya masa kecil kita dahulu. Mereka dicekik oleh zaman yang semakin hari semakin maju. Game online, sosial media, lagu-lagu tentang cinta, sinetron, banyak memberi pengaruh negatif bagi mereka. Anak SD sudah mulai mengenal 'pacaran' bahkan ada yang sampai pada tahap 'ayah bunda'. Ada yang sampai mengunggah foto bergandengan tangan, tak jarang foto berciuman pun mereka pamer, padahal seragam yang mereka gunakan masih putih merah. Sungguh miris. Dan kita hanya cuek saja dengan fenomena ini. Hanya berani muncul di kolom komentar tanpa terjun langsung bersosialisasi kepada mereka bahwa di usia muda seharusnya mereka bercita-cita bukan bercinta-cinta.
.
Permainan tradisional pun hampir punah. Bahkan, di dusunku sendiri sudah jarang terlihat anak laki-laki bermain gasing, kelereng dan ketapel. Mereka lebih senang di tempat rental PS. Anak perempuan sudah jarang terlihat bermain bongkar pasang, rumah-rumah, domikado dan dende'. Mereka lebih senang memoles diri, memposting foto selfie, dan berganti-ganti foto profil. Mungkin, anak-anak kita nanti akan lebih parah dari anak-anak sekarang.
.
Perkembangan zaman memang tak bisa kita hindari. Sebaiknya sosial media digunakan lebih bijak. Para orangtua harusnya memberi batas toleransi penggunaan sosmed kepada anak-anaknya. Agar tidak terjadi 'ayah bunda' di kalangan anak SD. Kalau sudah seperti itu siapa yang akan disalahkan?
.
Samata,
10 November 2017
Komentar
Posting Komentar