[TENTANG BUKU] Hijrah Jangan Jauh-jauh Nanti Nyasar! - Kalis Mardiasih

 

Judul                    : Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar!

Penulis                 : Kalis Mardiasih

Penerbit                : Mojok

Tahun Terbit        : 2019


Saya masih ingat beberapa tahun lalu di awal saya kuliah, salah seorang kawan menanyakan pada salah satu dosen mata kuliah, saya ingat betul dengan pertanyaan itu yang sebenarnya juga jadi pertanyaan dari diri saya, yaitu :

"Pak, yang mana yang salat subuhnya benar, diqunut kah atau tidak?" 

Dosen saya itu menjawab dengan sangat sederhana dan sangat diiyakan oleh logika sederhana saya yang masih berotak mahasiswa baru kala itu.

"Dua-duanya ya sama-sama benar, yang salah itu kalau kalian tidak salat subuh"

Nah, bukunya Mbak Kalis ini juga menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Buku yang sangat sederhana bahasanya namun bisa diterima oleh otak saya yang sungguh mumet dengan bahasa tingkat tinggi. wkwkwkwk. Buku ini bisa jadi teman sehari-hari saya dalam berIslam. Andai Mbak Kalis ini tetangga saya, sudah tentu saya akan setiap malam ngapelin pemikiran-pemikirannya. Padahal Mbak ini bukan ustadzah loh, hanya saja penjelasannya tentang Islam yang penuh kebahagiaan dan berbunga-bunga bikin hati saya ikut adem dan nggak merasa takut lagi kalau nggak nerusin braodcast whatsapp yang mengancam masuk neraka. 

Buku ini dibagi menjadi lima bab. Dan setiap bab per babnya bikin saya mengangguk, senyum-senyum dan bilang pada diri sendiri "eh iya juga, ini sering banget terjadi sama saya". Akan coba saya bahas sedikit masing-masing babnya.

Islam dan Kebaikan Anak-anak

"Andai saja orang dewasa bisa beragama seperti anak-anak, membebaskan perasaan dari curiga dan sakit hati" (hlm. 7)

Kok banyak ya, orang-orang di luar sana gampang sekali menjastifikasi seseorang hanya dengan melihat tampilan luarnya? Mereka seolah-olah punya andil terhadap akhirat seseorang. Dulu waktu kita masih anak-anak, belajar agama adalah sebuah kegembiraan. Setiap maghrib saya akan ke masjid menyetor hafalan salat ke guru, mengangkatkan satu cergen air saat usai ngaji, atau pas ramadhan sepulang tarawih kami semua akan menyalakan kembang api dan lebih serunya lagi pas malam takbiran ada pawai obor keliling kampung, dengan ragam hias obor. Ada yang menyerupai kubah masjid, ada yang berbentuk ketupat dan lain-lainnya. Tapi, di era sekarang ini hal-hal semacam itu disebut "menyerupai suatu kaum". Ya sudah, tidak usah beli tasbih. Toh itu juga menyerupai suatu kaum.

Dan, parahnya lagi, adikku yang masih kelas lima SD itu kalau nonton sinetron pasti bilangnya begini "Yang pemeran laki-laki ini toh bukan muslim". Loh apa hubungannya? Tapi ya mungkin saja aku yang kekurangan pemahaman tentang ini semua. Tapi jujur saja, aku ingin gembira dalam beragama seperti aku di masa kecil dulu. Nah, pas baca buku ini, kisah masa kecilku jadi teringat. Aduh rindunya. 

Islam dan Kemanusiaan

Dalam bab ini, penulis menyajikan enam tulisan dan saya sangat suka dengan judul Masjid yang Menjamu Tamu Seperti Rumah. Di situ penulis bilang kalau manusia melangkah ke masjid mewakili sebuah kerja penghambaan. Manusia sadar Tuhan ada di mana saja, bahkan lebih dekat daripada urat nadi, tetapi manusia tetap berusaha hadir di masjid dengan pakaian paling bersih dan hati penuh kesadaran seolah hanya di tempat sujud itu Tuhan menemui dan menjamu mereka dengan cara khusus. Ada juga di salah satu judul dalam bab ini dijelaskan tentang dua teori dakwah wali songo. Pertama mereka berdakwah dengan strategi penggunaan tasawuf, dan kedua menggunakan seni dan tradisi seperti wayang. Dan kenyataan yang terjadi sekarang adalah, di negara kita ini banyak orang yang bilang bahwa tradisi ini tuh bid'ah, atau tradisi ini haram hukumnya karena nggak dilakukan oleh Nabi dan sebagainya. Loh, wayang kan juga nggak dilakukan oleh Nabi tapi menjadi media dakwah yang paling populer di zaman Wali Songo dulu. Ini juga agak relate dengan beberapa pengalaman ku tentang orang yang berpikir "Saya tidak jual rokok, karena rokok itu haram". Tapi coba deh kakak, ibu, om sekalian buka lagi sejarah dakwah di Indonesia. Dulu para Kiai itu menjadikan kretek sebagai bentuk penggalangan dana untuk membantu keuangan proses dakwah di nusantara. Kalau sekarang, pasti para Kiai yang berbudi luhur itu sudah dihujat karena menggunakan kretek. Aduh kan bikin pusing dan bikin saya berpikir "Jangan-jangan saya nonton drakor tapi sarat makna hidup di dalamnya ini juga haram".

Islam dan Akal Sehat

Nah, di bab ini saya seolah dikenalkan Mbak Kalis dengan seorang tokoh pemuda yang mati muda, Ahmad Wahib. Seorang aktivis HMI yang juga bekerja sebagai jurnalis. Ahmad Wahib ini menurutku ya seorang beragama dengan akal sehat, walaupun pemikirannya kadang nyentrik. Kalau versi penulis bilang bahwa Ahmad Wahib ini seorang pemuda percaya diri sekaligus tidak tahu diri. Hehe. Bayangkan saja ada kalimatnya yang paling fenomenal "Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim". Ada pula kalimatnya yang lain "Biarlah semua ulama-ulama tua dan calon-calon ulama itu berbeda pendapat dengan saya. Saya ingin berbicara langsung dengan Tuhan dan berkenalan langsung dengan Muhammad". Bayangkan saja, kalau Wahib hidup di era twitter seperti sekarang, pasti twit-twitnya sering dibilang "penistaan". Pas baca Wahib ini saya teringat salah satu teman saya yang pernah bilang "Menghina Tuhan bukanlah kau harus bilangi kampret, menghina Tuhan adalah ketika kau bertanya saya makan apa besok?". Semoga teman saya ini sehat-sehat selalu.

Islam dan Contoh Baik

Contoh baik yang saya senangi di bab ini adalah tentang Lik Jaswadi dan Lik Ndari yang menurut penulis mereka sepasang yang percaya bahwa pendidikan agama adalah akhlak, lentera bagi diri dan wasilah keberkahan dalam hidup. Di kampung saya juga ada sepasang seperti mereka ini. Itu adalah guru mengaji adik saya. Mereka hidup dengan damai di dekat masjid. Setiap siang hingga sore rumah mereka diramaikan oleh anak-anak kecil yang belajar ngaji. Kata adikku, kalau salah sebut huruf, Darawisa (sapaan akrab mereka pada si Ibu) akan pukul tangan kita paka cambuk lidi. Tapi toh anak-anak ini tetap betah mengaji di sana. Sebab, cinta dan kebahagiaan yang Darawisa berikan ke mereka lebih besar. Dan sepasang ini meskipun hidup di lingkungan masjid, toh mereka tidak sibuk mengkafir-kafirkan sesuatu. 

Islam dan Modernitas

Informasi penting yang kudapat setelah membaca bab ini adalah :

  1. Jadi kawan-kawanku, nyatanya di media sosial yang kita puja dan puji setiap waktu itu banyak sekali akun-akun anonim atau nama lainnya bot. Akun-akun ini bekerja aktif pada saat ada isu yang sesuai dengan tugas yang diberikan kepada mereka. Semisal, akun-akun anonim yang khusus untuk mengkomentari isu berpakaian seseorang. Akun-akun anonim ini biasanya juga suka keroyokan loh. Ya mau bagaiamana lagi, ini jaman sudah kelewatan maju. 
  2. Seberapa sering kalian mendapati nasihat-nasihat mengatasnamakan agama lewak boradcast WhatsApp? Salah satunya ituloh yang di akhir atau di awal pesan selalu ada nada-nada ancaman neraka jika tidak meneruskan pesan itu. Agak lucu juga sih. Ingat loh, Rasulullah diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak kita semua, bukan untuk memastikan kita meneruskan pesan-pesan yang ahhhh bagaimana sih cara bilangnya, wkwkwkkw. 
  3. Ada istilah dalam buku ini "Santri YouTube Paruh Waktu". Menurutku itu sah-sah saja sih. Kan belajar bisa dari sumber mana saja. Hanya ya, malam ini nonton di YouTube, besoknya langsung dah tuh ceramahi bapak ibu di rumah atau adik-adik bahkan ada yang sampai di tetangga-tetangganya, seakan-akan ia baru dari berguru di Mesir atau sudah selesai kuliah di jurusan Tafsir Hadits. 
Tapi,ya itulah dunia yang kita tinggali ini. Dipenuhi banyak perbedaan-perbedaan dan ketidakteraturan. But, diakhir-akhir buku ini penulis bikin saya ikut membayangkan juga jika mungkin Rasulullah hidup di masa kini sudah pasti beliau akan turun langsung bersama masyarakat mencari solusi memerangi korupsi, memikirkan terumbu karang yang rusak, minyak goreng kok bisa naik, dan aku juga membayangkan jika Khalifah Usman masih hidup di malam yang gelap beliau pasti sudah menyambangi banyak rumah menaruh sebungkus bahkan bisa sampai sekarung sembako. 

Buku ini benar-benar membawa kita lebih menghayati lagi ke-Islaman dalam diri kita. Dan entah karena relate dengan saya, semua yang ada dalam buku ini tidak ada yang tidak kusukai. Saya semakin menanam dalam dada bahwa Islam yang saya anut adalah agama dengan segala kebahagiaannya, kelembutannya, dan sangat-sangat bersahaja. Risalah yang dibawa Rasul adalah pedoman yang ditafsirkan dengan banyak ragam. Tapi, apapun itu, menjadi manusia seutuhnya dan memanusiakan manusia adalah tugas bagi semua insan manusia. Jadi, baca dulu buku ini, jangan menton di sampul dan judul. Hayuk, nanti nyasar loh. 

Komentar

  1. "Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim" ini adalah kalimat Datuk Tan Malaka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya, itu kata Tan Malaka yang pas kubaca dibuku ini berasa kayak "dimana ka' pernah dengar ini"

      Hapus
    2. tapi tidak, itu juga kalimat sumi

      Hapus
    3. aii sialan, ini ko pasti aks..

      Hapus
  2. "Menghina Tuhan bukanlah kau harus bilangi kampret, menghina Tuhan adalah ketika kau bertanya saya makan apa besok?" kalimat seorang teman saya pula. teman kita ini barangkali adalah orang paling berani saat sendiri, sebab banyak sekali nama tuhan ia maki. semoga ia adalah orang yang sama yang kita maksud. semoga beliau sehat selalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hei uppa, jauh-jauh kau berjalan ke ujung sepi, dan menikam jantungmu sendiri. tidakkah kau menyesal?

      Hapus
    2. tidak, sebab sepi sudah lama berkawan dengan ku...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TENTANG BUKU] Kutipan dari Novel Pejalan Anarki

[TENTANG BUKU] Namaku Alam - Leila S. Chudori