[CATATAN PERJALANAN] Wae Rebo, Negeri Kerucut Di Lembah Manggarai
Gambar
1 Kampung Wae Rebo
Wae Rebo, berkunjung ke tempat ini adalah suatu pengalaman baru bagi
saya. Pertama kalinya saya mendaki seadanya tanpa persiapan seperti pendakian
sebelumnya. Hanya tiga pos, tapi cuaca di sana panas. Sangatlah berbeda dengan
puncak yang biasa saya daki.
Wae rebo bukanlah gunung, melainkan sebuah perkampungan adat yang
berada di lembah tersembunyi Manggarai. Untuk sampai di sana dibutuhkan seorang
pemandu wisata. Bukan pemandu wisata yang handal, melainkan harus bisa
berbahasa adat. Hal ini untuk mempermudah komunikasi dengan tetua adat di sana.
Sesampainya di pos tiga, kita tidak langsung bisa masuk ke daerah
perkampungan. Melainkan kita harus membunyikan kentungan. Fungsinya untuk
memberi tanda bahwa akan ada tamu dan untuk persiapan upacara adat. Dan sebelum
upacara adat dimulai, tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar.
Gambar
2 Pos Tiga Wae Rebo, tempat membunyikan kentungan
Upacara adat dilakukan di Mbaru Niang. Itu loh, rumah adat yang
berbentuk kerucut yang sangat hitz di dunia maya. Hehe. Melihat langsung
arsitektur rumah ini membuat saya sangat takjub. Mbaru Niang sendiri terdiri
atas satu rumah adat utama dan enam rumah adat pendamping. Upacara adat tentu
dilakukan di rumah utama. Upacara adata itu bernama Pa'u wae lu'u. Tujuannya
untuk meminta izin kepada leluhur di sana agar para tamu diberi pelindungan
sampai meninggalkan kembali kampung Wae Rebo.
Menurut tetua adat di sana, setelah
Pa'u wae lu'u selesai barulah bisa mengambil gambar, karena jika tidak begitu
biasanya gambar yang diambil akan rusak tanpa ada izin dari para leluhur.
Gambar
3 Foto setelah Pa'u Wae Lu'u
Di upacara adat ini juga kami diberi penjelasan mengenai Mbaru
Niang. Memiliki 5 lantai. Di mana setiap lantai memiliki fungsi yang berbeda.
Lantai pertama digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga. Lantai kedua
digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Lantai ketiga tempat untuk menyimpan
benih, misalnya benih jagung atau benih tani lainnya. Lantai keempat untuk
menyimpan bahan makanan persiapan menghadapi musim kemarau. Lantai terakhir
adalah tempat untuk menaruh sesajen bagi para leluhur.
Gambar
4 Mbaru Niang
Mbaru niang utama, berbeda dengan mbaru niang pendamping. Karena
pada lantai pertama didiami oleh 8 kepala keluarga, 8 kamar dan 8 tungku api.
Kedelapan keluarga ini dulunya sering bertikai hingga akhirnya disatukan dalam
rumah adat ini.
Nah, yang paling mengesankan dari penjelasan tetua adat adalah
pesannya kepada rombongan saya agar tidak memberi barang apa pun kepada
anak-anak di sana tanpa melalui perantara orang tua mereka. Hal ini menjaga
agar anak-anak tidak terbiasa untuk meminta.
Sayangnya, anak-anak kecil yang menghampiri saya hari itu belum
mengenal aksara. Bahkan mereka sangat tercengang melihat kertas dan pulpen yang
saya bawa. Salah satu dari mereka mengatakan "ini kah yang biasa buat
motor-motor?". Mungkin maksudnya menggambar motor. Andai Wae Rebo dekat
sangat ingin rasanya mengenalkan mereka aksara. Di tengah modernnya smartphone
yang kita pegang hari ini, ternyata masih banyak saudara-saudara kita di luar
sana yang belum mengenal baik dunia pendidikan.
Gambar
5 Foto saya bersama pemandu wisata rombongan kami
Kisah perjalanan ke Wae Rebo kali itu sangat panjang, tapi belum
sempat saya tuliskan semua. Semoga lain kali dapat berbagi lagi. Cerita
penjelasan tentang Wae Rebo dari tetua adat hanya beberapa yang saya ingat.
Mungkin juga ada penjelasan saya yang kurang tepat. Dikarenakan waktu itu saya
tidak sempat mencatat hal-hal yang menjadi pembelajaran dari kampung ini.
Saking takjubnya dengan arsitektur rumah Mbaru Niang. Terimakasih.
Gambar 6 Penulis : Muhfatiah Muhdar
Komentar
Posting Komentar