[CERPEN] Bujung
Bujung
[Oleh : Muhfatiah Muhdar]
Aku tinggal di sebuah
desa kecil yang hanya ada satu sekolah dasar, tidak ada sekolah SMP apalagi
sekolah SMA, dan Universitas sangat mustahil ada di sini. Hal ini lantas
membuatku jauh-jauh ke pusat kecamatan dari senin hingga sabtu demi menuntut
ilmu. Di desaku banyak yang putus sekolah karena remaja sebayaku lebih memilih
membantu orangtua mereka di kebun, ada juga yang membantu ibunya membuat golla mamea[1].
Amma’ ku[2]
juga pembuat golla mamea, tapi amma’ tidak pernah memaksaku untuk putus
sekolah agar dapat membantunya. Aku lebih sering membantu amma’ sepulang sekolah. Kami hanya tinggal berdua, ambe’[3]
meninggal ketika umurku baru dua tahun.
Setiap pagi, aku harus berjalan
sejauh 1,5 km menuju jalan poros. Kendaraan umum tidak pernah sampai ke desaku.
Mau tidak mau aku dan kawan-kawanku harus menguras keringat setiap pagi. Hal
ini juga berlaku bagi rakyat desa yang ingin ke pasar menjual hasil kebun. Pasar
juga adanya cuma di pusat kecamatan dan hanya terbuka pada hari senin, rabu dan
jumat. Jika hari pasar tiba aku berjalan dengan amma’ menuju jalan poros.
Tubuhku adalah alarm alami. Setiap
hari, pun hari minggu aku akan terbangun tepat pukul 04.00. Mengambil air wudhu
di dapur tua kami yang malamnya sudah amma’
siapkan. Sehabis salat subuh aku sudah harus mandi, agar tidak terlambat ke
sekolah. Apalagi aku harus mengejar jadwal kedatangan bus sekolah yang akan
menjemput para siswa setiap hari, dan biasanya pada pukul 06.30 bus sudah
menunggu siswa-siswa dari desaku di ujung jalan desa. Aku selalu memilih naik
bus sekolah dibanding kendaraan umum karena uang jajan yang diberikan amma’ hanya cukup untuk makan siang di
kantin. Jika harus digunakan untuk membayar pete-pete’[4], menahan lapar adalah pilihan terbaik.
***
Hari
senin adalah harinya gerak cepat. Pukul 05.00 aku berlari menuju bujung[5].
Gelap. Sepertinya lampu yang kugantung pada tiang mati. Padahal baru kuganti
satu bulan yang lalu. Daripada terlambat, aku memutuskan menimba dalam keadaan
gelap. Mandi dalam keadaan gelap adalah hal yang tidak kusukai. Memakai sabun
sekenanya saja, belum tentu bersih semua. Sehabis mandi kuberitahu amma’ bahwa lampu bujung mati.
”Beli
mi nanti lampu di toko kalau pulang ko sekolah”[6]suruh
amma’ sebelum aku turun dari tangga.
Sepulang
dari sekolah, sehabis makan siang aku menuju belakang rumah untuk mengganti
lampu bujung. Kuputar lampu itu
hingga lepas, dan kuganti dengan lampu yang baru kubeli di sebuah toko
elektronik depan sekolahku. Setelahnya, aku menuju kolong rumah membantu ibu
membuat golla mamea. Yang menyenangkan
dari membuat golla mamea adalah
sisa-sisanya yang sudah tidak cukup untuk satu cetakan lagi akan amma’ beri untukku. Biasanya, aku
membungkusnya dengan daun sakula’[7]
untuk kunikmati nanti setelah agak mengeras.
***
Keesokan
harinya, lampu yang baru kuganti mati lagi. Tentu aku merasa heran. Semalam
lampu ini terang saat aku mengambil wudhu untuk salat isha. Kuperiksa dengan
teliti. Kuputar lagi, lalu kupasang kembali. Kutekan saklar, lampu tetap mati.
Apa iya pegawai toko salah memberi lampu yang sudah mau rusak? Mungkin saja,
pikirku. Sehabis mandi kuberi tahu amma’ bahwa
lampu bujung mati.
”Mungkin
salah beli ko kemarin, tukar mi dengan yang di teras”[8]
“Pulang
sekolah pi baru kuganti, terlambat ka nanti kalau kuganti sekarang”
Kusalami amma’, kucium tangannya. Tangan amma’
terasa kasar.
***
“Pasti
tidak mati mi ini”[9]
Dengan semangat aku
menukar lampu teras dengan lampu bujung.
Yang sudah mati lalu kubuang ke gundukan sampah daun kering. Kuperiksa kembali
lampu itu, kutekan saklar dan lampu menyala dengan terang. Kemudian aku
berjalan menuju tangga belakang meninggalkan bujung. Pukul 21.00 sehabis mengerjakan tugas Biologi, aku
tertidur.
Seperti
biasa, alarm ditubuhku membangunkanku tepat pukul 04.00. Penglihatanku belum
jelas saat melihat sosok makhluk berdiri di dekat jendela kamarku. Pikirku ini
hanya halusinasi. Aku berlalu menuju dapur untuk berwudu.
Kunyalakan
lampu bujung. Dengan bernyanyi kutimba air. Pada timba yang ketujuh, tempat
penampungan air belum penuh, lampu berkedip-kedip lalu beberapa detik kemudian
lampu mati lagi. Kutekan saklar berkali-kali, masih tetap sama, lampu mati
lagi. Aku heran. Kutepis pikiranku dan kulanjutkan menimba lagi. Setelah baskom
penuh, meski tidak dapat kulihat dengan jelas, aku mandi dalam keadaan gelap.
Aku sama sekali tidak suka mandi dalam gelap. Kuberi tahu amma’ bahwa lampu bujung
mati lagi. Lalu amma’ menyuruhku untuk menggunakan lampu senter
saja.
***
Ada
yang berbeda kali ini, alarm ditubuhku berbunyi pada pukul 03.30. Tidak seperti
biasanya, kucoba kembali untuk tidur. Bagiku 30 menit adalah waktu berharga
untuk tidur dikarenakan aku harus berjalan jauh lagi nanti. Tapi, mataku tidak
bisa terpejam. Seperti ada yang memperhatikanku dari arah jendela. Kuarahkan
pandanganku ke sana, sosok itu muncul lagi. Kali ini ada dua sosok yang datang.
Aku merinding, bibirku kelu. Aku ingin teriak tapi tidak bisa.
Mereka
terlihat seperti manusia, tapi di tubuhnya dipenuhi rambut lebat. Mereka
sepasang. Si betina terlihat letih. Kupandangi lamat-lamat dan kuberanikan diri
untuk bertanya.
“ka..ka..lian
sia..a..pa?” tanyaku pada mereka
“kami
yang tinggal di dekat sumurmu” kata si jantan
Tidak ada rumah dekat bujung, tapi kedua makhluk ini mengakui
rumah mereka ada di sana.
“jangan
takut, kami tidak berniat mengganggu kamu, kami ke sini hanya ingin meminta
tolong padamu” lanjut si jantan.
Mendengar pernyataannya, rasa takutku
mulai berkurang. Walau sedikit. Rambut yang menutupi wajah, lengan, dan kaki
mereka mengingatkanku pada manusia-manusia yang ada pada gambar evolusi dalam
laboratorium Ipa.
”kalian
mau minta tolong apa padaku?”
“kami
sangat meminta padamu untuk tidak lagi menyalakan lampu di sumurmu itu, kami
mohon” si betina mengusap matanya yang basah.
“aku
tidak bisa mandi kalau dalam keadaan gelap” terangku
pada mereka.
“kami
mohon padamu, anak kami sedang sakit keras, dia tidak bisa tidur jika lampu di
sumurmu menyala”
Ternyata mereka suami istri, dan berkeluarga.
“aku
dan keluargaku baru pindah rumah di dekat sumurmu, anakku suka tinggal di sini.
Sebagai orangtua, kami hanya ingin melihat dia senang, kami mohon”
Setelah mengatakan itu, mereka
menghilang tepat di pelupuk mataku. Aku tertegun, lama. Bulu kudukku kembali
berdiri. Tanpa terasa azan subuh berkumandang. Kuhampiri amma’ di
dapur yang sedang menyediakan sarapan pagi kami.
”amma’
besok saya mandi di tempat cuci piring saja, saya capek timba air”.
***
[1]
Golla mamea : Gula merah
[2]
Amma’ : Sapaan ibu dalam bahasa mamuju
[3]
Ambe’ : Sapaan bapak
[4]
Pete-pete’ : Angkot
[5]
Bujung : Sumur
[6] Beli saja lampu yang baru kalau pulang sekolah
[7]
Sakula’ : Daun kakao
[8] Mungkin kamu salah beli lampu kemarin, tukar saja dengan lampu yang di
teras
[9] Pasti tidak akan mati lagi
Komentar
Posting Komentar