[CATATAN PERJALANAN ] Batu, Beton, dan Jalan Menuju Marano
Tempat ini bernama Marano, tempat bermukimnya penduduk transmigrasi dari berbagai daerah di Jawa. Meski banyak juga yang penduduk lokal. Berada di atas ketinggian kurang lebih 900 mdpl, Marano masih bagian dari kelurahan Sinyonyoi, kecamatan Kalukku. Dibuka sejak tahun 2009, yang kala itu penduduk transmigran ini dibawa ke sana menggunakan Jeep. Masing-masing kepala keluarga sudah disediakan rumah. Uniknya setiap rumah diberi nomor. Beberapa fasilitas berupa masjid, pustu, balai desa dan sekolah setingkat SD dan SMP sudah ada di sana meski tentunya tidak seistimewa fasilitas yang ada di belahan Kalukku lainnya.
Ini kali ketiga saya menyambangi tempat ini. Jalanan setidaknya agak lebih baik dari kali pertama saya ke sini. Sebagian sudah di cor, meski masih banyak yang belum. Viralnya tempat ini di media sosial, meningkatkan jumlah pengunjung yang datang sekadar untuk melihat negeri di atas awan, camping, ataupun riset tentang tempat ini. Sejak akhir 2019 lalu, Marano menjadi tujuan wisata bagi banyaknya pecinta alam baik itu dari Kalukku ataupun dari daerah-daerah lain.
Marano yang dulu tersembunyi kini keindahannya tidak bisa ditutupi lagi. Akses ke sana pun semakin mudah dibanding tahun-tahun lalu. Terbukti dengan kendaraan bermotor (bukan hanya trail) sudah mampu sampai ke sana. Bahkan mobil selain Jeep pun sudah bisa sampai. Meski masih banyak yang memilih berjalan kaki dari jembatan terakhir. Seperti yang biasa saya lakukan, motor diparkir di perumahan warga dan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sebab bagi saya, meski jalannya sudah dicor masih sangat beresiko besar apalagi jika tidak berpengalaman dengan tracking seperti ini. Tapi tenang saja, meski berjalan kaki, keindahan alam yang disuguhkan tak main-main. Jika melakukan tracking di malam hari, tengoklah ke bawah. Ribuan cahaya dari rumah-rumah warga Kalukku akan membelai mata kita. Belum lagi cahaya bintang akan membikin hati para pejalan ingin segera sampai.
Waktu tempuh tidak terlalu lama. Ini tergantung seberapa sering kita istirahat. Seperti waktu pertama kali saya ke sana, diperlukan waktu sekitar 4 jam jalan kaki. Kala itu saya berangkat dengan teman-teman dari Gerakan Mahasiswa Kalukku. Hampir 30 orang, menjadikan kami sering beristirahat sebab tidak semua memiliki ketahanan fisik yang kuat. Apalagi banyak di antara mereka yang baru pertama melakukan perjalanan seperti ini. Kedua kalinya saya berkunjung bersama dengan teman-teman satu angkatan saya, juga berlangsung selama 4 jam dengan kondisi yang sama yaitu banyak istirahat di jalan sebab ada beberapa kawan yang cepat lelah apalagi kawan yang perempuan. Nah, di kali ketiga ini perjalanan jalan kaki hanya 2 jam. Sebab, kami hanya berlima dan istirahat yang dilakukan hanya sedikit. Mungkin pula dikarenakan hanya saya saja yang perempuan. Apalagi di perjalanan diselingi dengan canda tak henti-hentinya kami tertawa sehingga perihal capek dan lelah seakan tidak dikenali oleh kami.
Ketika sudah sampai di atas, rasa lelah akan sirna. Sebab, warganya yang ramah akan menyapa kita di sepanjang jalan. Belum lagi pemandangan di Batu yang akan merayu kita untuk datang dan datang lagi ke sana. Pemandangan di Batu ini ketika pagi membikin kita serasa di negeri atas awan. Suasana yang dingin di tempat ini meski tidak sedingin Malino tapi setidaknya menyejukkan tubuh kita dari teriknya matahari di sekitaran pesisir. Sehingga tidak heran jika Marano kini menjadi incaran tujuan berlibur baik itu anak muda maupun liburan keluarga.
Namun, viralnya tempat ini akan memberi dampak secara positif atau pun negatif. Dampak positif nya adalah semakin banyak pengunjung yang datang, maka akan semakin terekspos pula keadaan yang ada di tempat ini sehingga menjadikannya tempat wisata dan mau tidak mau akan diadakan perbaikan jalan oleh pemerintah yang membuat masyarakat yang mayoritas di sana adalah petani kopi, nilam dan sayur akan semakin mudah membawa hasil komoditas nya ke pasar yang ada di pusat kecamatan. Selain itu, masyarakat yang tadinya jarang bertemu dengan orang baru akan menjadikan mereka tidak kesepian berada di wilayah terpencil seperti ini. Karena tidak bisa dipungkiri, Marano sekarang menjadi tujuan utama komunitas baik komunitas literasi ataupun komunitas lainnya untuk mengadakan kegiatan di sana agar lebih dekat dengan masyarakat. Nah, dampak negatif nya adalah seperti yang terjadi pada tempat-tempat lain yaitu semakin banyak pengunjung resiko tempat itu tercemar oleh sampah akan semakin meningkat. Apalagi tidak semua masyarakat Kalukku yang berlibur ke sana paham masalah sampah dan lingkungan. Tidak ada pendidikan atau sosialisasi akan hal itu. Bagi saya sendiri, Marano harusnya sudah ada pos untuk memeriksa barang-barang bawaan pengunjung yang beresiko menimbulkan sampah. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas pecinta alam yang ada di Kalukku. Sebab, kita tidak bisa berharap pada pemerintah untuk melakukan hal semacam ini. Meski, harusnya untuk mencintai alam tidak melulu dilakukan oleh komunitas pecinta alam sendiri. Seluruh lapisan masyarakat perlu melakukan ini. Alam disediakan untuk kita nikmati dan kita jaga. Sampah yang kita bawa adalah tanggung jawab kita masing-masing. Harapan saya, Marano menjadi kawasan pariwisata gunung yang tidak dinodai oleh sampah dari para pengunjungnya.
Lestari!
Semangat kakak😊
BalasHapusTerimakasih
Hapus