[TENTANG BUKU] Putih - L. Ayu Saraswati

Judul : Putih

Penulis : L. Ayu Saraswati

Penerbit : Marjin Kiri


Pernah tidak, kalian baru ketemu teman lama terus mereka langsung bilang "ih tambah putih saja, pakai skin care apa?". Atau kalian ketemu orang baru terus dia langsung sok tahu tentang kau berasal dari suku apa hanya karena persoalan warna kulit?. Nah buku ini membahas banyak hal tentang warna kulit terutama "Putih", mulai dari sejarah kulit putih jadi standar kecantikan di Indonesia hingga bagaimana kulit putih juga selalu diidentikkan dengan ras. 

Kulit putih jadi standar seorang perempuan dikatakan cantik ternyata sudah ada di jaman pra kolonial, di Pulau Jawa misalnya, masyarakat Hindu sangat terpengaruh dengan epos Ramayana. Yapsss, kisah cinta Rama dan Sinta. Sosok Sinta digambarkan dalam kisah tersebut sebagai perempuan berparas cantik dengan diumpamakan seperti bulan purnama; terang. Waktu itu, hanya dikenal terang dan gelap. Bukan putih dan hitam. Terang selalu berkaitan dengan hal positif, sedangkan gelap selalu berkaitan dengan hal negatif. Nah, terang itu lah paras Sinta atau Hanoman (kera putih) yang baik hati membebaskan Sinta dari kekangan Rahwana. Dan tentu saja gelap itu Rahwana yang kejam. Baik epos Ramayana versi India ataupun versi Jawa, keduanya tetap menggambarkan Sinta sebagai bulan purnama yang terang.

Kemudian, setelah Hindia-Belanda dijajah, Belanda sebagai bagian dari Eropa membawa standar warna kulit baru. Putih Kaukasia, putih Eropa. Kalau kau mau dihargai kau harus Eropa dulu, tentu saja dengan berkulit putih. Di masa itu kemudian banyak laki-laki Eropa menikah dengan perempuan pribumi (Nyai). Setelah itu akan lahir anak Indo, setengah pribumi, setengah Eropa. Tapi, kebanyakan dari anak Indo itu kemudian lebih mengakui diri mereka sebagai Eropa dan pura-pura lupa bagian Indonesia dari diri mereka. Di sini, putih tidak hanya dikaitkan dengan ras tapi juga penanda status sosial seseorang.

Lalu, Belanda tumbang dan Hindia Belanda diambil alih oleh Jepang. Nah, standar warna kembali mengalami perubahan. Nippon membawa warna putih Asia, putih Jepang. Walaupun sesungguhnya kulit Asia lebih berwarna kuning. Kemudian, setelah Indonesia merdeka di jaman Presiden Soekarno tidak banyak menerima investasi asing masuk sehingga iklan kecantikan "pemutih" sangat sedikit. Itupun menggunakan model Indonesia tapi tetap berwarna kulit putih. Lalu, setelah masa Soeharto menjabat, investasi kembali marak masuk ke Indonesia dan kulit putih tidak hanya jadi warna kulit saja atau diidentikkan dengan ras tertentu tetapi juga mengalami industrialisasi atau konteks putih kemudian dibawa pada ranah pasar. Di era ini dikenal dengan fase putih kosmpolitan. 

Buku ini sangat menarik karena mampu membuka pemikiran kita terutama memaknai sejarah kulit putih yang menjadi salah satu substansi yang dijajah oleh bangsa asing pada kita. Selain itu, banyak pula dimunculkan perkembangan bahasa-bahasa iklan produk kecantikan baik itu produk dalam negeri maupun dari luar negeri di majalah-majalah wanita. Nah ternyata menurut penulis iklan-iklan ini kemudian membantu penikmat iklan mempersepsikan orang lain dan dirinya sendiri. Iklan-iklan yang mempromosikan produk seperti krim pemutih ini nyatanya tidak membuat orang menjadi putih sungguhan melainkan tubuhnya hanya putih secara virtual. 

Pada bagian ke-5 buku ini yang membahas tentang kaitan antara Malu dan Warna Kulit saya dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata banyak perempuan selama ini memaksakan dirinya untuk menjadi putih karena adanya perasaan 'malu'. Apalagi dalam konteks Indonesia, malu selalu beriringan dengan sanksi, tradisi, otoritas, takut diolok-olok dan berujung pada kecemasan. Dan dampak dari itu semua adalah shame. Dalam buku ini juga disebutkan bahwa malu adalah afek yang berjenis kelamin. Ketika laki-laki malu dia cenderung bereaksi secara agresif dalam mengelola perasaan malunya. Sedangkan perempuan lebih cenderung menarik diri dari lingkungan yang mungkin memberi perasaan negatif ketika ia memperoleh tatapan dari orang di sekitarnya. Akhirnya ia akan merasa perlu untuk memaknai iklan-iklan dari produk kecantikan yang mana yang cocok ia gunakan. Bukan hanya merubah warna kulit tapi lebih ke menumbuhkan 'rasa' percaya diri. 

Mengapa kulit yang ditutupi saat perempuan merasa malu? Penulis mengatakan karena kulit adalah situs diri paling terpapar dengan lainnya yang bersifat publik. Kulit yang nampak di muka umum memungkinkan orang lain menilai karakter yang punya tubuh. Dari beberapa wawancara yang dilakukan oleh penulis saya terkesan dengan salah satu narasumbernya yang mengaku bahwa kalau setelah ia mendapatkan prestius lebih ia kemudian tidak lagi memiliki keinginan untuk melakukan praktik memutihkan kulitnya. Hal ini menandakan bahwa ternyata kapital ekonomi seorang perempuan merasa dirinya lebih superior dibandingkan warna kulit nya. 

Buku yang sangat informatif yang memberikan banyak sekali pengetahuan baru bagi saya, mulai dari sejarah, hingga masuk ke dalam aspek psikologi. Jadi, perasaan seperti apa yang muncul di benakmu hingga kau ingin memiliki kulit putih? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TENTANG BUKU] Kutipan dari Novel Pejalan Anarki

[TENTANG BUKU] Namaku Alam - Leila S. Chudori

[TENTANG BUKU] Hijrah Jangan Jauh-jauh Nanti Nyasar! - Kalis Mardiasih