[Mencatat Pertemuan] Ante' dan Satu Tandang Pisang-pisang di Dinding Rumah
Karena masih dalam kondisi sakit, dari rumah saya nebeng di salah satu teman guru. Kondisi jalan di musim hujan menuju sekolah hari ini sudah pasti sangat licin mau tidak mau di Pammulukang nanti saya harus pindah boncengan. Nah, untungnya sebelum berangkat saya sudah janjian dengan salah satu siswa.
Siswa itu bernama Galang. Setiap pagi, Galang selalu turun untuk mengantar kakaknya yang bersekolah di Lombang-lombang. Sepulang dari mengantar kakaknya, Galang selalu stand by di tempat Biasanya kami memarkir motor. Walaupun beberapa guru ada juga yang mengendarai motor sampai di sekolah, tetap saja selalu membutuhkan bantuan Galang.
Dan jalanan hari ini memang sangat licin. Beberapa kali ban motor kami selip. Karena Galang belum memakai seragam sekolahnya, kami harus singgah dulu di rumahnya. Rumah Galang berada di pinggir jalan lintas Pammulukang-Rumbia Apo, tepatnya di Dusun Betteng Batu. Rumah ini jadi tempat persinggahan kami ketika berangkat atau pulang dari sekolah. Ibunya Galang atau masyarakat sini mengenalnya dengan panggilan Mama' Manja atau Kindo’, tapi saya lebih sering menyebutnya Ante’, selalu menyediakan satu tandang pisang-pisang yang digantung di dinding rumah yang posisinya mudah terlihat. Pisang-pisang itu bebas dinikmati oleh siapa saja yang sedang lewat di depan rumah mereka.
Seperti pagi ini, satu tandang pisang-pisang itu tergantung lagi. Beberapa sisir sudah matang. Saya meminta izin kepada Ante’ untuk memakan beberapa dari pisang-pisang itu. Sembari memecah buah kemiri, kebiasaannya di pagi hari kecuali di hari pasar, beliau menemani saya ngobrol banyak hal. Tentang jalanan yang tidak pernah membaik, tentang Galang yang ceroboh dan tentang awal mula beliau menetap di sini.
Ante’ bercerita sudah lama ia tinggal di sini. Karena ajakan dari salah satu keluarganya yang sudah lebih dulu pindah dan menetap di sini. Kala itu, Ante’ memperoleh harga tanah sekitar 3 jutaan yang sekarang mereka tinggali dan sebagiannya dimanfaatkan untuk berkebun.
“Galang, Bidar itu lahir di sini semua. Ada ka’ tiga kali melahirkan sejak di sini. Satu kali itu meninggal, kakaknya i Bidar” Ujarnya.
Ante’ dan keluarganya ini berasal dari Campalagian.
Selain memecah kemiri, Ante’ juga biasanya membantu suaminya membuat gula merah. Pada hari pasar (senin, rabu dan jumat) dibonceng Galang, Ante' akan turun membawa jualannya menuju pasar Tasiu. Jualannya berupa gula merah dan kemiri tentunya. jadi selain mengantar kakaknya, Galang juga mengantar Ante’ ke pasar pagi-pagi kemudian menjemputnya lagi sepulang sekolah. Maka Wajar saja jika saya dan guru-guru lain selalu nebeng sama Galang.
Selain pisang-pisang, Ante’ juga kadang menyediakan buah lain seperti nangka untuk disantap bagi siapa saja yang lewat. Beberapa kali saya juga disuguhi kopi dan panganan, kadang pula jika menginap di sekolah, Ante’ mengirim lauk lewat Galang untuk kami. Hari ini pun sama, sepulang dari sekolah karena hujan saya singgah berteduh di rumah Ante’, secangkir kopi itu keluar lagi. Sembari membaca bukunya JS Khairen yang judulnya Bungkam Suara saya menikmati kopi itu, tentunya diiringi suara hujan. Karena hujan lama sekali reda, suatu keberuntungan lainnya adalah Ante’ memanggil saya untuk makan di dapurnya. Bau piapi panas yang menggugah selera itu tersaji di atas baki. Nikmat sekali.
Ante’ adalah salah satu manifestasi keramahan Rumbia Apo yang membuat kami betah mengajar di tempat ini walaupun akses jalan masih sulit. Dan tidak cuma Ante’ tapi hampir seluruh masyarakatnya memperlakukan kami seperti keluarga. Semoga orang-orang baik seperti Ante’ selalu sehat dan bahagia.
21/12/2024
Komentar
Posting Komentar