[CERITA PERJALANAN] Di Jogja, Literasi untuk Semua
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Mamuju baru-baru ini mengadakan kegiatan Pegiat Literasi Goes To Jogjakarta. Kegiatan yang diinisiasi secara langsung oleh Kepala Dispursip Kabupaten Mamuju ini memboyong setidaknya 20 orang pegiat literasi dari berbagai komunitas yang ada di Kabupaten Mamuju yang berlangsung sejak 8 Desember hingga 12 Desember 2024. Tujuannya adalah agar seluruh pegiat memperoleh referensi dan ilmu baru bagaimana kerja-kerja gerakan literasi yang ada di Jogja.
Muhammad Fauzan (Kepala Dispursip) menegaskan bahwa memilih Jogja sebagai tujuan wisata intelektual tidak serta merta terjadi begitu saja tapi melalui riset. Dari hasil riset itulah didapati bahwa Jogja merupakan provinsi dengan indeks literasi tertinggi di Indonesia.
Literasi menjadi perhatian utama Pemda DIY, dibuktikan dengan gedung pemerintahan terbesar adalah perpustakaan. Hari pertama kami di sana, Grhatama Pustaka menjadi tujuan awal kami. Grhatama Pustaka adalah nama balai layanan pustaka yang diberikan oleh Sri Sultan HB ke X. Drs. Martono Heri Prasetyo, M.Si (Sekretaris Dispursip DIY) menjelaskan tingkat literasi di daerah ini berkembang baik karena adanya kerja sama dengan para anggota dewan. Sejak tahun 2015, pihak perpustakaan giat mendatangi desa-desa untuk bedah buku yang narasumbernya para anggota dewan itu dengan memberi buku dan uang transport kepada masing-masing peserta. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk datang ke bedah buku tersebut.
Dari Grhatama Pustaka kami kemudian menyambangi Rumah Baca Komunitas (RBK) yang bermarkas di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman dan disambut hangat oleh Sri Lestari Linawati atau yang akrab disapa Kak Lina sebagai salah satu pendiri dari rumah baca ini. RBK didirikan oleh David Efendi, suami dari Kak Lina pada tahun 2012 karena melihat adanya kesenjangan akses masyarakat terhadap buku. Konsep yang diusung RBK sendiri adalah Ecoliterasi dengan tagline Membaca, Menulis, Menanam. Dengan memanfaatkan teras rumah dari pasangan ini, RBK menjadi ruang diskusi baik masalah lingkungan, sosial atau sekedar menjadi tempat membaca buku. Terbuka 24 jam, pengunjung bebas meminjam buku tanpa harus berbenturan dengan syarat-syarat peminjaman buku seperti di perpustakaan pada umumnya.
Kunjungan selanjutnya kami mendatangi Insist Press, sebuah lembaga penerbitan yang kebanyakan menerbitkan buku-buku hasil riset sehingga wajar saja jika sebagian orang menyebutnya sebagai penerbit serius. Terletak di Dusun Sambirejo, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman Insist Press berada di tempat yang sangat asri. Kami berkesempatan bertemu langsung dengan Roem Simatupang sebagai pendiri dari Insist Press sekaligus penulis dari buku Sekolah Itu Candu. Hal menarik di Insist adalah lembaga ini memiliki adat istiadat tersendiri. Salah satunya adalah disediakan teh, kopi dan panganan yang bebas dinikmati pengunjung. Namun, pengunjung harus bertanggung jawab dengan mencuci sendiri gelas dan piring yang mereka gunakan. Tak peduli kelas dan jabatan pengunjung tersebut.
Kami juga memiliki jadwal kunjungan ke Kampung Sains Karangkajen tepatnya ke Rumah Asa Harapan setelah dari Insist Press. Karena hujan deras, rencana tersebut tidak terlaksana dengan efisien. Padahal di tempat tersebut kami berkesempatan mengunjungi beberapa makam 3 pendiri Organisasi Islam Nasional yaitu Muhammadiyah, HMI dan IMM. Beruntungnya, Indra Suryanto pendiri dari Rumah Asa Harapan mendatangi kami di bus untuk menjelaskan giat mereka di Kampung Sains Karangkajen yang juga dikenal sebagai kampung ecoprint. Menurutnya, pembuatan motif kain dengan teknik ecorint ini sangat ramah lingkungan. Indra menjelaskan bahwa dari penjualan Ecoprint ini kemudian yang menghidupkan Kampung Sains Karangkajen.
Keesokan harinya kami mendapat ajakan dari salah satu penulis cerita anak mandar, Irwan Syamsir untuk berkunjung ke salah satu toko buku yaitu di JBS (Jual Buku Sastra). Bertemu langsung dengan Indrian Koto salah satu penyair Indonesia yang juga pemilik dari Kedai JBS ini tidak kami sia-siakan untuk berdiskusi terkait kerja-kerja literasi di JBS. Kedai buku kecil ini terletak di tengah sawah di belakang perkampungan warga. Untuk sampai kesana kami berjalan kaki memasuki lorong-lorong kecil. Buku yang dijual di sini kebanyakan adalah buku terbitan dari penerbit indie. Menurut Indrian, munculnya banyak penerbit kecil menjadi pertanda meningkatnya perkembangan sastra sehingga harus diberi ruang.
Para pegiat literasi yang ikut dalam kegiatan ini tentu sangat berterimakasih kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Mamuju karena telah diberi kesempatan untuk melihat langsung kegiatan-kegiatan literasi di Jogja. Satu hal yang paling tertanam di benak saya adalah mereka yang kami kunjungi sangat sederhana padahal mereka telah menanam ladang pengetahuan baik bagi diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar